Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

Dinas Arkeologi Hindia Belanda: Ketika Kolonialisme Menyelamatkan Masa Lalu Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

20 - Oct - 2025, 07:21

Placeholder
Borobudur, Awal Abad ke-20: Para pejabat kolonial berpose dengan mobil Eropa di depan Candi Borobudur. Sebuah potret pertemuan antara kemegahan masa lalu Jawa dan simbol modernitas kolonial. (Sumber Foto: Arsip Sejarah. Diwarnai dengan AI)

JATIMTIMES - Awal abad ke-20 menjadi titik penting dalam sejarah pelestarian peninggalan kuno di Hindia Belanda. Kesadaran Eropa terhadap nilai historis dan arsitektural peninggalan Jawa mulai tumbuh, tidak hanya sebagai simbol kekuasaan masa lampau, tetapi juga sebagai bahan ilmiah yang bisa memperkuat legitimasi kolonial. Dari kesadaran itu lahirlah upaya sistematis pertama untuk mendokumentasikan, meneliti, dan memugar warisan arkeologis di wilayah jajahan.

Cikal bakal lembaga ini dimulai tahun 1901, ketika pemerintah kolonial membentuk Komite di Hindia untuk Riset Arkeologis di Jawa dan Madura. Tugasnya sederhana tapi strategis: memotret dan menggambar ulang candi-candi serta benda purbakala yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam tahap awal, komite ini melakukan survei terhadap Candi Jago, Candi Singasari, dan Candi Penataran, tiga situs utama peninggalan Majapahit dan Singasari yang menjadi perhatian besar bagi para orientalis Belanda.

Baca Juga : Damkar Evakuasi Ular Viral Masuk ke Permukiman Warga

Publikasi pertama yang dikeluarkan komite itu berisi risalah tentang penggambaran arsitektur dan pencegahan kerusakan monumen-monumen kuno. Sejak saat itu, penelitian arkeologi di Hindia Belanda tidak lagi bersifat sporadis atau bergantung pada individu peneliti seperti N.J. Krom atau J.L.A. Brandes, tetapi mulai terorganisasi secara administratif.

Langkah berikutnya terjadi tahun 1913, ketika pemerintah kolonial mendirikan lembaga permanen bernama Dinas Arkeologi dan Peribadatan Umum. Lembaga ini berada di bawah Departemen Pendidikan dan Agama, sebuah penempatan yang menggambarkan betapa kolonial Belanda melihat arkeologi bukan sekadar sains, melainkan juga instrumen moral dan kultural. Dinas ini menggantikan peran komite lama dan memperluas ruang geraknya hingga seluruh Hindia Belanda.

Dinas Arkeologi diberi mandat resmi untuk menyusun risalah arkeologis dan arsitektonis benda-benda purbakala di seluruh wilayah, melakukan fotografi, pembuatan cetakan gips, dan kerja survei lapangan. Tugas-tugas ini dirancang tidak hanya untuk kepentingan akademik, tetapi juga untuk mendukung citra Belanda sebagai “penjaga peradaban Timur.”

Kerusakan

Struktur dan Birokrasi: Ilmu Pengetahuan dalam Bingkai Kolonial

Kantor pusat Dinas Arkeologi didirikan di Weltevreden, Batavia, dengan struktur organisasi yang rapi dan berorientasi teknis. Di bawah seorang Kepala Departemen, lembaga ini memiliki seorang inspektur benda purbakala, ahli arsitektur, asisten lapangan, serta pejabat-pejabat teknis yang ditempatkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kedua wilayah ini menjadi prioritas karena di sanalah berdiri candi-candi besar peninggalan kerajaan Hindu–Buddha. Di samping itu, Dinas juga menempatkan seorang pejabat khusus untuk benda-benda purbakala Eropa, seorang fotografer, juru gambar, juru tulis, dan asisten biro. Kombinasi ini menunjukkan bahwa lembaga tersebut tidak hanya bekerja sebagai biro administrasi, tetapi juga laboratorium lapangan yang bergerak lintas disiplin: arsitektur, sejarah, epigrafi, ikonografi, hingga konservasi bahan.

Setiap hasil penelitian dikumpulkan dalam bentuk laporan tahunan yang kemudian diterbitkan secara resmi sebagai dokumen kolonial. Laporan ini memuat tinjauan umum mengenai perawatan monumen, kegiatan fotografi, penelitian epigrafi, ikonografi, dan hasil pemugaran. Dengan demikian, Dinas Arkeologi berperan sebagai pengelola memori masa lalu, yang mengubah peninggalan lokal menjadi arsip global yang tercatat dalam bahasa dan sistem pengetahuan Barat.

Namun, di balik sistem yang tampak ilmiah itu, terselip logika kolonial: pelestarian dilakukan dalam kerangka kekuasaan. Semua aktivitas arkeologis berada di bawah pengawasan ketat pemerintah Belanda, yang memastikan bahwa benda-benda antik tidak boleh diekspor keluar Hindia Belanda tanpa izin resmi. Dengan demikian, kolonialisme menjelma menjadi penjaga sekaligus pemilik sah atas masa lalu yang bukan miliknya.

Prambanan

Memugar Jawa: Candi, Epigrafi, dan Warisan Batu

Sejak awal berdirinya, Dinas Arkeologi menaruh perhatian besar pada rekonstruksi monumen-monumen suci di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fokus utama diarahkan pada kelompok Candi Prambanan, termasuk Candi Sari dan Candi Kalasan.

Pemugaran Candi Kalasan disebut berhasil secara keseluruhan, menjadikannya contoh paling menonjol dari praktik konservasi kolonial awal abad ke-20. Di Prambanan, pekerjaan pemugaran bersifat bertahap dan memakan waktu panjang. Setiap batu disusun kembali berdasarkan dokumentasi fotografi dan cetakan gips yang dihasilkan lembaga tersebut.

Selain di Jawa Tengah, Dinas Arkeologi juga terlibat dalam pemugaran Candi Penataran di Blitar, Candi Singasari di Malang, serta Candi Jago di Tumpang. Ketiganya menjadi situs penting dalam membangun narasi kontinuitas sejarah Jawa-Hindu. Melalui kerja-kerja ini, kolonialisme seolah-olah tampil sebagai penyelamat masa lalu, padahal ia juga sedang melakukan proses simbolik: menundukkan warisan leluhur Nusantara ke dalam bingkai epistemologi Barat.

Candi Penataran

Tak berhenti di candi, lembaga ini juga memperluas tanggung jawabnya pada benda-benda purbakala dari periode VOC dan kolonial awal. Misalnya, pemugaran benda-benda peninggalan Eropa di Maluku, Gereja Portugis di Batavia, Benteng Marlborough di Bengkulu, serta bangunan istana Kasultanan Cirebon (Kraton Kasepuhan) yang berasal dari masa VOC di Celebes.

Keterlibatan Dinas Arkeologi dalam memelihara benda-benda purbakala Islam dan Cina menunjukkan bahwa lembaga ini tidak hanya berfokus pada monumen peninggalan Hindu dan Buddha, tetapi juga berupaya menyusun kronologi peradaban yang melintasi batas etnis dan agama. Di balik kegiatan ilmiah itu tersembunyi agenda yang lebih besar, yaitu membangun narasi tentang kemajuan peradaban Hindia Belanda, sebuah versi sejarah yang menempatkan Belanda sebagai pewaris sah sekaligus pelindung kebudayaan Timur.

Candi

Arkeologi sebagai Alat Kekuasaan

Dalam struktur kolonial, arkeologi bukan sekadar ilmu, melainkan alat legitimasi. Melalui Dinas Arkeologi, pemerintah Belanda dapat menunjukkan bahwa mereka bukan hanya penguasa politik, tetapi juga pelindung spiritual dan ilmiah dari warisan lokal. Dengan demikian, kolonialisme tampil dengan wajah ganda: represif di bidang sosial-ekonomi, tetapi paternalistik di bidang kebudayaan.

Pendokumentasian sistematis yang dilakukan Dinas Arkeologi memang menghasilkan manfaat besar bagi dunia pengetahuan. Foto-foto, cetakan gips, dan risalah arsitektural menjadi sumber utama bagi kajian sejarah dan arsitektur Nusantara hingga kini. Namun, di sisi lain, semua itu juga menjadi bentuk penguasaan simbolik terhadap identitas lokal.

Benda-benda purbakala yang dulunya sakral di mata masyarakat Jawa kini dimasukkan ke dalam kategori “heritage” dalam kerangka kolonial. Dalam bahasa ilmiah, batu-batu candi kehilangan konteks spiritualnya dan menjadi objek penelitian, bukan subjek penghormatan. Pemisahan ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme bekerja secara halus melalui sistem pengetahuan. 

Prambanan

Dari Arsip Kolonial ke Warisan Nasional

Laporan tahunan Dinas Arkeologi, bersama tinjauan dua setengah tahunan yang diterbitkan secara rutin, menjadi dokumen penting bagi penelitian arkeologi modern. Di dalamnya tersimpan detail tentang cara pemugaran, kondisi monumen, hingga daftar benda-benda purbakala yang ditemukan di lapangan.

Baca Juga : Sempat Jadi Kontroversi: Kanjuruhan Street Race Buat Omzet Pedagang UMKM dan PKL Meningkat 300 Persen

Dalam perspektif historiografi, inilah fase awal terbentuknya sistem pelestarian cagar budaya di Indonesia. Banyak kebijakan pasca-kemerdekaan, termasuk pembentukan Dinas Purbakala (kemudian Balai Arkeologi Nasional), merupakan kelanjutan langsung dari model kolonial ini.

Dari sinilah muncul paradoks sejarah: bangsa penjajah yang selama tiga abad menindas ekonomi dan politik pribumi, justru menjadi pihak yang pertama kali membangun sistem pelestarian budaya dan arkeologi di Nusantara.

Namun, pelestarian itu tentu tidak bersifat netral. Upaya tersebut dibangun di atas asumsi bahwa masyarakat pribumi tidak memiliki kemampuan atau kesadaran ilmiah untuk merawat masa lalunya sendiri. Dengan cara itu, kolonialisme tampil sebagai “penyelamat,” padahal sejatinya juga berperan sebagai pencuri makna.

Candi Cetho

Refleksi: Menimbang Paradoks Penyelamatan Kolonial

Kini, lebih dari satu abad setelah Dinas Arkeologi berdiri, jejak kerjanya masih dapat dirasakan. Banyak candi yang kita kagumi hari ini seperti Prambanan, Kalasan, Penataran, Jago, dan Sari tidak akan bertahan tanpa upaya dokumentasi serta pemugaran yang dilakukan pada masa kolonial. Namun di balik keberhasilan itu tersimpan satu pertanyaan mendasar, siapa yang sebenarnya diselamatkan oleh arkeologi kolonial?

Bagi pemerintah Belanda, kegiatan pemugaran monumen berfungsi untuk menunjukkan bahwa mereka pantas menjadi penguasa di Hindia. Namun bagi masyarakat Jawa, hal itu berarti kehilangan hak untuk menafsirkan dan memahami makna warisan leluhur mereka sendiri. Arkeologi kolonial tidak sekadar memugar batu, tetapi juga merekonstruksi ingatan, menjadikannya arsip bagi kekuasaan, bukan bagi masyarakat yang mewarisinya.

Candi singosari

Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa tanpa dasar ilmiah yang dibangun oleh Dinas Arkeologi, perkembangan pelestarian warisan budaya di Indonesia mungkin tidak akan secepat sekarang. Lembaga kolonial tersebut, dengan segala paradoks di dalamnya, justru menjadi jembatan yang menuntun bangsa ini menuju kesadaran nasional tentang pentingnya merawat dan memahami masa lalu.

Dalam pengertian tersebut, sejarah Dinas Arkeologi Hindia Belanda mengajarkan dua hal penting. Pertama, bahwa kolonialisme dapat menjadi guru sejarah yang penuh ironi karena ia menghancurkan sekaligus menyelamatkan. Kedua, bahwa masa lalu senantiasa menuntut penafsiran ulang, sebuah tafsir yang tidak lagi tunduk pada wacana kolonial, melainkan berpihak kepada pemilik sejati kebudayaan itu sendiri.

Kini, setiap kali kita berdiri di depan Candi Prambanan atau Kalasan, yang kita saksikan bukan hanya keagungan arsitektur kuno, tetapi juga lapisan-lapisan sejarah kolonial yang membentuk cara kita memandangnya. Dinas Arkeologi Hindia Belanda memang sudah lama tiada, tetapi jejak epistemologinya masih membayang dalam setiap kebijakan pelestarian cagar budaya di Indonesia.

Candi Kalasan

Dan mungkin di situlah terletak ironi sekaligus hikmah terbesar dari sejarah ini, bahwa masa lalu, betapapun telah direbut dan didefinisikan ulang, tetap menemukan jalannya untuk bertahan di bawah penjajahan, di bawah ilmu, dan akhirnya di bawah kesadaran bangsa yang kini berdaulat atas memorinya sendiri.


Topik

Peristiwa dinas arkeologi riset arkelogis jawa sejarah pemugaran candi belanda



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Yogyakarta Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana